Headlines News :
Home » » KAIDAH KEDELAPAN : BERSEMANGAT MENGAMBIL ILMU DARI AHLINYA

KAIDAH KEDELAPAN : BERSEMANGAT MENGAMBIL ILMU DARI AHLINYA

Written By Unknown on Minggu, 29 Maret 2015 | 23.04

( Serial Delapan Kaidah Menuntut Ilmu )  

Pada Kaidah yang terakhir ini, penulis menjelaskan kepada kita bahwasanya tatkala kita menimba ilmu, kita bersemangat untuk menimba setiap ilmu dari ahlinya / al-akābir / ulama, bukan al-ashāghir.

Ashāghir dan Akābir adalah merupakan istilah salaf yang terdapat dalam hadits marfu'.

Ashāghir adalah pemula di bidang ilmu, jadi dinisbatkan kepada masih muda belia. 
Karena biasanya yang muda belia itu masih belum matang akalnya, ilmunya, pengalamannya dan hikmahnya.

Berbeda dengan akābir (lawan dari ashāghir)

Ikhwah fillāh, di setiap waktu dan setiap tempat, akan anda dapati orang-orang yang memfokuskan dirinya untuk mengajar, dari kalangan ahli ilmu.

Namun ada pula ada orang-orang yang memfokuskan dirinya untuk mengajar, dari kalangan yang mengaku-ngaku memiliki ilmu, atau para pemula di bidang ilmu.

Maka hendaklah anda bersemangat -jika memungkinkan hal yang demikian- untuk menimba ilmu dari al-akābir, artinya adalah : 

· Ulama yang menghabiskan seluruh umur mereka dalam ilmu
· Terbiasa dengan masalah-masalah ilmu
· Memiliki banyak pengalaman

Jadi, anda bisa mengambil faidah dari mereka baik ilmu, amal, hikmah, arahan dan pendidikan. Jadi anda bisa menimba ilmu dan juga etika.

Para ulama menimba ilmu disertai etika, karena etika tanpa ilmu tidak beres, dan ilmu tanpa etika akan membinasakan.

Maka anda membutuhkan orang yang mengajari dan mendidik anda dalam satu waktu, yaitu mendidik hati anda dan akal anda.

Inilah kebiasaan ulama al-akābir, bukan al-ashāghir.

Karena al-ashāghir biasanya: 
· belum faham
· ilmu belum mumpuni
· pengalamannya belum sempurna
· otak mereka belum matang
· kebiasaan mereka tergesa-gesa dan cepat-cepat dalam mengambil tindakan dan hukum

Dan yang paling bahaya dari semua ini adalah kebiasaan mereka itu :
· bercabang-cabang dalam memahami
· tidak memahami nash Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana yang selayaknya

Sehingga terjerumus dalam salah faham dan ketergesaan dalam mengambil tindakan hukum yang mengakibatkan hal demikian itu jatuh dalam kebid'ahan.

Inilah kebiasaan al-ashāghir, orang yanv masih muda dari sisi ilmu.

Bukan berarti setiap yang masih mudah di bidang ilmu keadaannya seperti ini, kadang ada (tapi jarang) yang masih muda keilmuannya bisa menyaingi yang sudah tua dan bahkan melebihi masyayikh yang sudah besar (para ulama).

Hal ini terjadi dalam umat ini diantara mereka adalah Imam SyāFi'i. 

Imam SyāFi'i masih muda belia, akan tetapi para ulama besar duduk di hadapannya dan menimba ilmu kepadanya.

Begitu pula Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ribuan para ulama duduk didepan beliau, padahal beliau masih muda.

Akan tetapi hal ini jarang.

Biasanya, hal yang paling dominan bagi al-ashāghir (yang masih muda belia) yaitu pendek dan bercabang-cabang pemahamannya, cepat dalam mengambil hukum dan kurang bekalnya.
Namun yang dimaksud dengan ashāghir bukan hanya muda dalam sisi umur saja. Akan tetapi termasuk didalamnya setiap pemula dalam ilmu yang belum sempurna fiqh/pemahamannya.

Yang seperti ini apabila tergesa-gesa memfokuskan dirinya untuk mengajar dan berfatwa, maka kesalahannya itu lebih banyak dari kebenarannya sehingga terjadilah kiamat.

Sungguh telah diriwayatkan bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam bersabda:

إن من أشراط الساعة قال: أن يلتمس العلم عند الأصاغر
"Diantara tanda dekatnya hari qiyamat ialah dicarinya ilmu dari ashāghir."

Ikhwah fillāh, apabila anda tidak beruntung untuk menimba ilmu dari mereka (al-akābir) maka hendaklah anda bersemangat jika memungkinkan untuk menimba setiap ilmu dari ahlinya, menimba Al-Qurān dari ahli Al-Qurān, tafsir dari ahli tafsir, hadits dari ahli hadits, fiqh dari ahli fiqh.

Apabila anda mencampur baurkan semuanya, maka biasanya anda tidak akan mendapatkan faidah.

Apabila anda belajar hadits kepada ahli nahwu maka anda tidak akan mengenal hadits, jika anda pergi menimba bacaan al-qur’an kepada ahli hadits yang tidak ada pengetahuan tentang bacaan al-qur’an, maka anda tidak akan mendapatkan faidah karena ilmu itu memiliki kekhususan.

Karena setiap ilmu ada ahlinya yang mana mereka mengenal rahasia-rahasia dan masalah-masalahnya.

Apabila anda mengambil setiap ilmu dari ahlinya, maka anda akan mendapatkan faidah yang sangat besar.

Inilah kebiasaan salaf.

Imam Ahmad belajar Ushul Fiqh kepada Imam SyāFi'i dan membaca kitab Ar-Risālah kepada Imam SyāFi'i.
Imam SyāFi'i mengambil hadits dari Imam Ahmad.
Mereka tidak sombong untuk mengambil setiap ilmu dari ahlinya.
Imam Malik bin Anas merupakan Imam Dārul Hijrah pada waktunya yang tidak ada persengketaan.

Tatkala ditanya tentang menjahrkan (mengeraskan bacaan) “basmalah”, beliau  mengalihkan mereka kepada Imam Nāfi' bin Abi Nu'aim Al-Qāri, seorang imam qiraa-aat (bacaan al-qur’an) di Madinah Nabawiyyah.

Sehingga terkenal perkataan Imam Malik yang menjadi kaidah:
كل علم يسأل عنه أهله
"Setiap ilmu ditanyakan kepada ahlinya."

Masalah yang terakhir dalam kaidah ini yaitu apabila anda bertekad untuk memahami agama maka hendaklah anda menjauh dari al-ashāghir (mengambil ilmu dari ashāghir) dan disarankan mengambil ilmu dari ahlinya (dari kibar).

Hendaklah anda bersemangat untuk TIDAK menimba ilmu dari orang yang menimba ilmunya hanya dari kitab, tidak duduk dihadapan guru, tidak bersimpuh di halaqoh / majlis ilmu.

Karena biasanya orang yang menimba ilmu hanya dari kitab: 
Pemahamannya bercabang-cabang. 
Kadang terjerumus kepada banyak kekeliruan karena mereka menimba ilmunya hanya dari kitab tanpa ada yang membimbing / mendidik mereka dan membukakan rahasia-rahasia yang ada di dalam ilmu tersebut atau kesulitan-kesulitan yang ada. 
Kadang apa yang difahami oleh ash-shuhufiy (yang hanya menimba ilmu dari kitab) maka pemahamannya sesuai dengan pemahamannya sendiri dan berlangsung seperti itu, tidak ada orang yang mengingatkannya / mengarahkannya / mendidiknya.

Menimba ilmu dari guru itu merupakan sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.
AlQurān tidak diturunkan langsung sekaligus, akan tetapi diturunkan secara berangsur-angsur.
Nabi menimba ilmu dari yang membacakan kepada Nabi yaitu Jibril 'alayhis salām.
Maka Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menimba ilmu dari guru.

Begitu pula shahabat tidaklah menimba ilmu sunnah langsung dari mushaf, akan tetapi mereka menimba ilmu dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam.
Maka ilmu itu disisi salaf adalah 'ilmu wa tarbiyah (ilmu dan pendidikan).

Jadi yang mampu mengumpulkan untuk anda antara ilmu dan pendidikan adalah guru anda.
Apabila anda sendirian menimba ilmu maka bagaimana anda bisa berbuat atau anda bisa mendidik diri anda sendiri?

Ikhwah fillāh, inilah pentingnya kita menimba ilmu dari al-akābir dan menjauhi menimba ilmu dari al-ashāghir, yang dicontohkan adalah yang menimba ilmu hanya dari kitab tanpa ada guru.

Inilah delapan kaidah yang jika seandainya kita mempraktekkannya maka in syā Allāh akan mencapai apa yang kita inginkan untuk memahami ilmu syar'i dengan cara yang mudah dan selamat.

Kita memohon kepada Allāh semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengajari kita apa yang tidak kita ketahui dan memberikan manfaat kepada kita apa yang telah kita ketahui dan mengkaruniakan kepada kita ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih.
_____________________

Makkah Al-Mukarramah, 30 Maret 2015 M / 10 Jumada tsaniyah 1436 H
“Barnaamij ‘amaly li al-mutafaqqihiin” , karya Syaikh Abu ‘Ashim Al-Qary
Kajian Audio Muslim & Muslimah (Grup WhatsApp)
Pemateri : Ustadz Nuruddin Abu Faynan
Dicatat oleh : Ukhti Maria Ulfah Ummu ‘Abdirrahman
Editor : Arfah Ummu Faynan  
_______________________


Share this article :

0 komentar:

Speak up your mind

Tell us what you're thinking... !

Translator

 
Copyright © 2011. Nuruddin Abu Faynan, Lc. - All Rights Reserved