( Serial Delapan Kaidah Menuntut Ilmu )
Pada Kaidah yang terakhir ini, penulis menjelaskan kepada kita
bahwasanya tatkala kita menimba ilmu, kita bersemangat untuk menimba
setiap ilmu dari ahlinya / al-akābir / ulama, bukan
al-ashāghir.
Ashāghir dan Akābir adalah
merupakan istilah salaf yang terdapat dalam hadits marfu'.
Ashāghir adalah pemula di bidang ilmu, jadi dinisbatkan kepada masih
muda belia.
Karena biasanya
yang muda belia itu masih belum matang akalnya, ilmunya, pengalamannya dan
hikmahnya.
Berbeda dengan
akābir (lawan dari ashāghir)
Ikhwah fillāh, di setiap waktu dan setiap tempat, akan anda dapati orang-orang
yang memfokuskan dirinya untuk mengajar, dari kalangan ahli ilmu.
Namun ada pula
ada orang-orang yang memfokuskan dirinya untuk mengajar, dari kalangan yang mengaku-ngaku
memiliki ilmu, atau para pemula di bidang ilmu.
Maka hendaklah anda bersemangat -jika memungkinkan hal yang
demikian- untuk menimba ilmu dari al-akābir, artinya
adalah :
· Ulama yang menghabiskan seluruh umur mereka dalam ilmu
· Terbiasa dengan masalah-masalah ilmu
· Memiliki banyak pengalaman
Jadi, anda bisa
mengambil faidah dari mereka baik ilmu, amal, hikmah, arahan dan pendidikan.
Jadi anda bisa menimba ilmu dan juga etika.
Para ulama
menimba ilmu disertai etika, karena etika tanpa ilmu tidak beres, dan ilmu
tanpa etika akan membinasakan.
Maka anda
membutuhkan orang yang mengajari dan mendidik anda dalam satu waktu, yaitu mendidik
hati anda dan akal anda.
Inilah kebiasaan
ulama al-akābir, bukan al-ashāghir.
Karena al-ashāghir
biasanya:
· belum faham
· ilmu belum mumpuni
· pengalamannya belum sempurna
· otak mereka belum matang
· kebiasaan mereka tergesa-gesa dan cepat-cepat dalam mengambil
tindakan dan hukum
Dan yang paling
bahaya dari semua ini adalah kebiasaan mereka itu :
· bercabang-cabang dalam memahami
· tidak memahami nash Al-Kitab dan As-Sunnah sebagaimana yang
selayaknya
Sehingga
terjerumus dalam salah faham dan ketergesaan dalam mengambil tindakan hukum
yang mengakibatkan hal demikian itu jatuh dalam kebid'ahan.
Inilah kebiasaan
al-ashāghir, orang yanv masih muda dari sisi ilmu.
Bukan berarti
setiap yang masih mudah di bidang ilmu keadaannya seperti ini, kadang ada (tapi
jarang) yang masih muda keilmuannya bisa menyaingi yang sudah tua dan bahkan
melebihi masyayikh yang sudah besar (para ulama).
Hal ini terjadi dalam umat ini diantara mereka adalah Imam SyāFi'i.
Imam SyāFi'i masih muda belia, akan tetapi para ulama besar duduk di hadapannya
dan menimba ilmu kepadanya.
Begitu pula
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, ribuan para ulama duduk didepan beliau, padahal beliau
masih muda.
Akan tetapi hal
ini jarang.
Biasanya, hal
yang paling dominan bagi al-ashāghir (yang masih
muda belia) yaitu pendek dan bercabang-cabang pemahamannya, cepat dalam
mengambil hukum dan kurang bekalnya.
Namun yang
dimaksud dengan ashāghir bukan hanya
muda dalam sisi umur saja. Akan tetapi termasuk didalamnya setiap pemula dalam
ilmu yang belum sempurna fiqh/pemahamannya.
Yang seperti ini
apabila tergesa-gesa memfokuskan dirinya untuk mengajar dan berfatwa, maka
kesalahannya itu lebih banyak dari kebenarannya sehingga terjadilah kiamat.
Sungguh telah
diriwayatkan bahwasanya Nabi shallallāhu 'alayhi wa
sallam bersabda:
إن من
أشراط الساعة قال: أن يلتمس العلم عند الأصاغر
"Diantara
tanda dekatnya hari qiyamat ialah dicarinya ilmu dari ashāghir."
Ikhwah fillāh, apabila anda tidak beruntung untuk menimba ilmu dari mereka
(al-akābir) maka hendaklah anda bersemangat jika memungkinkan untuk
menimba setiap ilmu dari ahlinya, menimba Al-Qurān dari ahli
Al-Qurān, tafsir dari ahli tafsir, hadits dari ahli hadits, fiqh dari
ahli fiqh.
Apabila anda
mencampur baurkan semuanya, maka biasanya anda tidak akan mendapatkan faidah.
Apabila anda
belajar hadits kepada ahli nahwu maka anda tidak akan mengenal hadits, jika
anda pergi menimba bacaan al-qur’an kepada ahli hadits yang tidak ada
pengetahuan tentang bacaan al-qur’an, maka anda tidak akan mendapatkan faidah
karena ilmu itu memiliki kekhususan.
Karena setiap
ilmu ada ahlinya yang mana mereka mengenal rahasia-rahasia dan masalah-masalahnya.
Apabila anda
mengambil setiap ilmu dari ahlinya, maka anda akan mendapatkan faidah yang
sangat besar.
Inilah kebiasaan
salaf.
Imam Ahmad
belajar Ushul Fiqh kepada Imam SyāFi'i dan membaca
kitab Ar-Risālah kepada Imam SyāFi'i.
Imam SyāFi'i mengambil hadits dari Imam Ahmad.
Mereka tidak
sombong untuk mengambil setiap ilmu dari ahlinya.
Imam Malik bin
Anas merupakan Imam Dārul Hijrah pada
waktunya yang tidak ada persengketaan.
Tatkala ditanya
tentang menjahrkan (mengeraskan bacaan) “basmalah”, beliau mengalihkan mereka kepada Imam Nāfi' bin Abi Nu'aim Al-Qāri, seorang imam
qiraa-aat (bacaan al-qur’an) di Madinah Nabawiyyah.
Sehingga
terkenal perkataan Imam Malik yang menjadi kaidah:
كل علم
يسأل عنه أهله
"Setiap
ilmu ditanyakan kepada ahlinya."
Masalah yang terakhir dalam kaidah ini yaitu apabila anda bertekad
untuk memahami agama maka hendaklah anda menjauh dari al-ashāghir (mengambil ilmu dari ashāghir) dan
disarankan mengambil ilmu dari ahlinya (dari kibar).
Hendaklah anda
bersemangat untuk TIDAK menimba ilmu dari orang yang menimba ilmunya hanya dari
kitab, tidak duduk dihadapan guru, tidak bersimpuh di halaqoh / majlis ilmu.
Karena biasanya orang yang menimba ilmu hanya dari kitab:
① Pemahamannya
bercabang-cabang.
② Kadang terjerumus
kepada banyak kekeliruan karena mereka menimba ilmunya hanya dari kitab tanpa
ada yang membimbing / mendidik mereka dan membukakan rahasia-rahasia yang ada
di dalam ilmu tersebut atau kesulitan-kesulitan yang ada.
③ Kadang apa yang
difahami oleh ash-shuhufiy (yang hanya menimba ilmu dari kitab) maka
pemahamannya sesuai dengan pemahamannya sendiri dan berlangsung seperti itu,
tidak ada orang yang mengingatkannya / mengarahkannya
/ mendidiknya.
Menimba ilmu
dari guru itu merupakan sunnah Nabi shallallāhu 'alayhi wa
sallam.
AlQurān tidak diturunkan langsung sekaligus, akan tetapi diturunkan
secara berangsur-angsur.
Nabi menimba
ilmu dari yang membacakan kepada Nabi yaitu Jibril 'alayhis salām.
Maka Nabi shallallāhu 'alayhi wa sallam menimba ilmu dari guru.
Begitu pula
shahabat tidaklah menimba ilmu sunnah langsung dari mushaf, akan tetapi mereka
menimba ilmu dari Nabi shallallāhu 'alayhi wa
sallam.
Maka ilmu itu
disisi salaf adalah 'ilmu wa tarbiyah (ilmu dan pendidikan).
Jadi yang mampu
mengumpulkan untuk anda antara ilmu dan pendidikan adalah guru anda.
Apabila anda
sendirian menimba ilmu maka bagaimana anda bisa berbuat atau anda bisa mendidik
diri anda sendiri?
Ikhwah fillāh, inilah pentingnya kita menimba ilmu dari al-akābir dan menjauhi menimba ilmu dari al-ashāghir, yang dicontohkan adalah yang menimba ilmu hanya dari kitab
tanpa ada guru.
Inilah delapan
kaidah yang jika seandainya kita mempraktekkannya maka in syā Allāh akan mencapai
apa yang kita inginkan untuk memahami ilmu syar'i dengan cara yang mudah dan
selamat.
Kita memohon
kepada Allāh semoga Allāh Subhānahu wa Ta'āla mengajari kita apa yang tidak kita ketahui dan memberikan
manfaat kepada kita apa yang telah kita ketahui dan mengkaruniakan kepada kita
ilmu yang bermanfaat dan amal yang shalih.
_____________________
Makkah Al-Mukarramah,
30 Maret 2015 M / 10 Jumada tsaniyah 1436 H
“Barnaamij ‘amaly
li al-mutafaqqihiin” , karya Syaikh Abu ‘Ashim Al-Qary
Kajian Audio
Muslim & Muslimah (Grup WhatsApp)
Pemateri :
Ustadz Nuruddin Abu Faynan
Dicatat oleh : Ukhti
Maria Ulfah Ummu ‘Abdirrahman
Editor : Arfah
Ummu Faynan
_______________________
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !