Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan
Al-Qur'an yang merupakan sebaik-baik dzikir, shalawat & salam bagi Nabi
Muhammad yang diutus sebagai rahmat bagi alam semesta.
Semoga
Allah membalas kebaikan bagi Ikhwan & Akhwat yang begitu bersemangat
dalam mendekatkan ummat islam kepada Al-Qur'an.
Di
tengah kontroversi masalah program ODOJ (One Day One Juz), antara pro dan
kontra, marilah kita kembalikan permasalahan ini kepada ulama, sebagaimana
firman Allah ta'ala:
((فاسألوا أهل الذكر إن كنتم لا تعلمون))
"Bertanyalah
kepada Ahli ilmu, jika kamu tidak mengetahui"
Beberapa
waktu yang lalu, saya mendapatkan link muhadharah (ceramah) tentang
permasalahan yang mirip dengan program ODOJ, link tersebut saya dapatkan dari
Prof. Dr. Afnan Tilmisani, salah seorang dosen saya di Umm Al-Qura University –
Makkah Al-Mukarramah.
Ceramah
ini berisi fatwa dari seorang Ahli Fiqh, Ahli Tafsir, Ahli Ushul Fiqh, Anggota
Dewan Ulama Besar Saudi Arabia, serta pengajar tetap di Masjid Makkah, Madinah,
& Jeddah, beliau adalah Syaikh Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithy
hafizhahullahu ta'ala, mari kita simak isi ceramah beliau:
(Pertanyaan)
:
Syaikh
yang mulia, seseorang bertanya:
Aku
& teman-temanku mengikuti suatu program pada telefon seluler, setiap hari
aku mengirimkan satu halaman dari Al-Qur'an, dan setiap orang yang telah
membacanya, memberi tanda pada bacaannya, yang merupakan wirid harian, agar
kami tidak terputus dari Al-Qur'an, apakah dalam perkara ini ada sesuatu yang
termasuk bid'ah? Semoga Allah membalas anda dengan kebaikan.
(Jawaban):
Pertama-tama,
semoga Allah membalas kebaikan bagi ikhwan & akhwat yang mengerjakan amalan
ini dalam rangka mengingatkan manusia untuk ta'at kepada Allah 'azza wa jalla
dengan balasan yang baik, dengan menggunakan sarana modern untuk mengingatkan
manusia kepada keta'atan kepada Allah, dan mempunyai semangat yang tinggi untuk
menggapai cinta Allah & keridhaan Allah, padanya terdapat pahala yang
besar, seseorang diberi pahala atas tauladan yang baik & keta'atan, namun
dalam hal ini terdapat masalah:
Pertama,
disebutkan dalam syari'at tentang motivasi untuk berdzikir kepada Allah 'azza
wa jalla, dan tentang memotivasi ini disebutkan secara mutlak tidak terikat,
kecuali yang telah ditetapkan oleh ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits tentang
pengkhususannya dengan waktu tertentu atau ibadah tertentu.
Pada
asalnya, menurut para ulama –semoga Allah menyayangi mereka-, yaitu dalam
masalah Dzikir: tidak boleh mengkhususkan waktu atau tempat tertentu dengan
dzikir tertentu, serta tidak boleh meletakkan dzikir tertentu dengan bilangan
tertentu.
Penjelasannya
sebagai berikut:
Jika dia
mengirim satu halaman dari Al-Qur'an dan berkata: "Kalian harus membacanya
hari ini, dan esok hari saya akan mengirim halaman kedua & ketiga, siapa di
antara kalian yang membacanya, maka dia meletakkan tanda (bahwa dia sudah
membacanya –pen)"
Pertama:
Dia
menentukan kadar tertentu pada tilawah Al-Qur'an.
Kedua:
Pada
dasarnya, selayaknya menyembunyikan dzikir, seseorang tidak memberi tahu orang
lain bahwa dia telah membaca Al-Qur'an sekian dan sekian, kecuali karena ada
maslahat syar'I (tujuan kebaikan yang ditetapkan oleh islam –pen).
Namun
point yang kedua lebih ringan daripada point yang pertama.
Namun
pada point yang pertama, di sinilah letak permasalahannya:
· (Point
Pertama) :
Para
ulama berkata: (Jika) seseorang berkata kepada orang-orang, atau kepada
sebagian orang: "Bacalah pada hari Sabtu seratus ayat, atau dua ratus
ayat, atau bacalah satu halaman dari Al-Qur'an, atau ucapkanlah Laa ilaaha illa
Allah seribu kali, atau ucapkanlah subhaanallah seribu kali, atau
bershalawatlah kepada Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seribu kali",
maka hal ini adalah bid'ah.
Penjelasannya
adalah sebagai berikut:
Sesungguhnya
Allah ta'ala berfirman: ((Berdzikirlah kepada Allah dengan dzikir yang
banyak)), dan Dia berfirman: ((Bertasbihlah pada pagi dan petang hari)), yang
dimaksud tasbih di sini adalah dzikir dengan hati, bukan shalat, maka Allah
menyebutkannya secara mutlak … (mutlak = tidak terikat bilangan, kadar, atau
tatacara tertentu –pen)
Jika
datang seseorang dan berkata: "Katakan laa ilaaha illa Allah seratus
kali", maka dia telah menentukan apa yang tidak ditentukan oleh syari'at.
Ambillah
ini sebagai kaidah: Yaitu tidak boleh bagi seorangpun untuk menentukan wirid,
atau menentukan dzikir, atau atau mengharuskan suatu dzikir kecuali dengan
dasar syari'at, yaitu dalil syar'I yang menunjukkan tentang penentuannya.
Maka
sekarang jika engkau berkata: "Bacalah halaman ini, atau bertasbihlah
seratus kali atau seribu kali", maka engkau telah menyalahi kaidah tadi.
Dan
tidak boleh bagi seorangpun –ini merupakan kaidah- untuk menentukan yang tidak
ditentukan dalam kitabullah atau sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam,
kecuali dengan apa yang telah ditentukan (oleh kitab atau sunnah –pen).
Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang mengucapkan laa
ilaaha illa Allahu wahdahu laa syariika lahu pada hari itu ketika pagi hari
seratus kali" –al-hadits, maka beliau membatasi bilangan seratus dan
menentukan bilangan seratus.
Dan
begitulah yang terdapat dalam dzikir yang ditentukan, seperti ucapan tasbih,
tahmid, & takbir 33 kali setiap sehabis shalat dan diakhiri dengan laa
ilaaha illa Allahu wahdahu laa syariika lah, lahu al-mulku wa lahu al-hamdu wa
huwa 'ala kulli syai-in qadiir menyempurnakan bilangan seratus, ini disebutkan
dalam syari'at.
Maka
kita katakan: Saudaraku yang mulia, jika engkau ingin memerintahkan
saudara-saudaramu untuk berdzikir, maka perintahkanlah kepada mereka sesuai
dengan apa yang diperintahkan oleh Allah padanya, bisa jadi dengan membebaskan
apa yang tidak ditetapkan-Nya, atau dengan ketentuan yang ditetapkan-Nya.
Maka
engkau boleh berkata: "Saudara-saudaraku, jangan lupa mengucapkan laa
ilaaha illa Allah seratus kali, atau yang lainnya, sesuai dengan apa yang
disebutkan oleh syari'at (tentang ketetapan bilangannya –pen).
Atau
(engkau katakan): "Jangan lupa untuk mengucapkan setiap selesai shalat
wirid ini dan itu" sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allah, sesuai
dengan apa yang diperintahkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam,
sesuai dengan apa yang dituntunkan oleh para ulama.
Namun
jika engkau datang dan mengatakan: "Bacalah halaman ini".
Lebih
baik engkau mengatakan kepada manusia: "Perbanyaklah tilawah
Al-Qur'an."
Atau
engkau berkata: "Wahai saudara-saudaraku, sesungguhnya Al-Qur'an
memberikan syafa'at bagi para pembacanya, maka perbanyaklah membaca Al-Qur'an
dan bersemangatlah tilawah Al-Qur'an, dan jadikanlah wirid dari Al-Qur'an atau
beberapa lembar dari Al-Qur'an." (tanpa menentukan kadar tertentu atau
tatacara tertentu –pen).
Maka hal
ini tidak mengapa dan tidak masalah, dan engkau mendapatkan pahala dalam perkara
ini, karena itu adalah perintah dengan apa yang diperintahkan oleh Allah,
engkau memerintahkan dengan apa yang Allah perintahkan dengannya.
Namun
jika engkau datang menentukan satu halaman atau dua halaman, atau menentukan
waktu tilawah, misalnya engkau berkata: "Dari jam delapan sampai jam
Sembilan", maka hal ini tidak terdapat dalam syari'at.
Dan jika
demikian (menentukan kadar tertentu atau waktu tertentu yang tidak ditetapkan
oleh syari'at –pen), maka hal ini dilarang oleh syari'at, demikian para ulama
dan ahli ilmu melarangnya.
Sekarang
engkau melakukannya, kemudian nanti putramu setelahmu melakukannya, dan dia
berkeyakinan (bahwa tatacara seperti itu –pen) adalah merupakan (yang
diperintahkan –pen) Agama, dan merupakan syari'at, lalu dia mengharuskan kepada
manusia (untuk berbuat dengan tatacara seperti itu –pen), dan mengharuskan
dirinya sendiri dengan (tatacara) seperti itu.
Sesungguhnya
kita tidak bisa mengharuskan manusia dengan halaman tertentu atau dengan
bilangan tertentu dari ayat Al-Qur'an, atau menentukan tempat tertentu atau
dengan dzikir tertentu: perkataan atau perbuatan, pada waktu tertentu atau
tempat tertentu, atau menentukan apa yang tidak ditentukan syari'at, atau
membebaskan apa yang telah ditetapkan syari'at, maka hal ini seluruhnya adalah
menyelisihi syari'at, maka permasalahan sesungguhnya adalah pada sisi ini.
Para
ulama –semoga Allah menyayangi mereka- (berpegang) pada kaidah ini.
Jika
seseorang berkata: Aku memerintahkan kepada kebaikan, jika dia berkata kepada manusia,
atau berkata kepada teman-temannya: "Jika kalian di waktu pagi ucapkanlah
laa ilaaha illa Allah seribu kali, sebelum waktu siang, dan ucapkan laa ilaaha
illa Allah pada setengah hari berikutnya (maksudnya pada waktu sore –pen), atau
ucapkanlah laa ilaaha illa Allah pada siang hari seribu kali dan laa ilaaha
illa Allah seribu kali pada malam hari."
Kami
akan mengatakan bahwa ini adalah bid'ah dan perkara yang diada-adakan, para
ulama telah menuliskan bahwa hal seperti itu adalah bid'ah & diada-adakan,
karena dia telah menentukan apa yang tidak ditentukan oleh syari'at, dan tidak
boleh menentukan kadar atau waktu tertentu kecuali dengan dalil dari syari'at,
maka kita katakan apa yang dikatakan oleh syari'at.
Bukankah
para pendahulu kita yang shalih serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan
baik, mereka adalah manusia yang memiliki ilmu tentang dzikir, dan telah ada
dari kalangan ummat ini "Adz-Dzaakiruuna Allaha katsiiran wa
adz-dzaakiraat" (Para laki-laki & para perempuan yang berdzikir kepada
Allah dengan dzikir yang banyak), mereka telah ada pada masa yang berbeda dan
waktu yang berbeda, (mereka melakukan –pen) dengan apa yang ada dalam
kitabullah & sunnah Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, tak ada seorangpun
yang menentukan bagi mereka apa yang tidak ditentukan oleh kitabullah.
Dahulu,
jika mereka ingin memberi motivasi kepada seseorang dalam berdzikir,
mereka mengatakan dengan apa yang dikatakan oleh Allah & rasul-Nya.
Jika
mereka ingin memberi motivasi untuk membaca Al-Qur'an, mereka menyebutkan
ayat-ayat yang menunjukkan tentang keutamaan tilawah, juga hadits-hadits yang
diriwayatkan dari nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Maka
mereka mengatakan kepadanya: "Bacalah Al-Qur'an karena Allah telah
memerintahkannya, dan Allah tidak memerintahkan kecuali kebaikan, Dia
berfirman: ((Bacalah apa yang diwahyukan kepadamu dari Al-Qur'an)).
Dan
demikian pula yang disebutkan oleh sunnah (hadits) tentang keutamaan tilawah
Al-Qur'an.
Maka
kita boleh memerintahkan apa yang diperintahkan oleh syari'at, yang syari'at
datang dengannya, dan inilah yang boleh bagi seorang muslim yang dia ridha
dengan syari'at tadi dan dia berjalan di atas manhaj (metode) ini.
Maka
perkara ini –yang saya maksud adalah menentukan halaman tertentu atau membatasi
bilangan tertentu dalam wirid dan menentukan waktu tertentu untuk berdzikir-
hal ini menyelisihi kaidah di dalam syari'at, maka selayaknya saling menasehati
dalam hal ini, dan aku memohon kepada Allah agar membalas kepada
saudara-saudaraku -atas semangat mereka yang baik- dengan kebaikan.
· Point
yang ke dua:
Pada
asalnya, dzikir dilakukan dengan sembunyi-sembunyi (dan membaca Al-Qur'an
adalah sebaik-baik dzikir –pen).
Jika
seseorang datang dan berkata: "Barangsiapa di antara kalian yang membaca
halaman ini, hendaklah dia memberi tanda/isyarat", maka dia telah
menampakkan ibadahnya, ibadah yang dia kerjakan dengan penuh keikhlasan kepada
Allah 'azza wa jalla, dan dia sangat harapkan agar ibadahnya diterima di sisi
Allah subhaanahu wa ta'ala.
Dan
tidak boleh menampakkan ibadah yang seharusnya disembunyikan, kecuali dengan
tujuan yang dibenarkan oleh syari'at.
Tujuan
yang dibenarkan syari'at itu adalah seperti untuk mengajarkan kepada orang
lain.
Ketika
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bertanya: ((Siapa di antara kalian yang
sedang puasa? Siapa di antara kalian yang mengantarkan jenazah?)).
Hal ini
karena beliau akan menjelaskan hukum yang berkaitan dengan hal tersebut, untuk (menjelaskan)
pahala yang diperoleh Abu Bakr dan orang yang berbuat seperti Abu Bakr, maka
dalam hal ini ada tujuan yang dibenarkan oleh syari'at.
Atau
seseorang berkata: "Demi Allah, aku mendapatkan kebaikan yang banyak pada
puasa senin – kamis", atau "Aku mendapatkan kebaikan yang banyak pada
shalat malam", dia menceritakan tentang dirinya sendiri kepada orang yang
(kira-kira) akan terpengaruh dengannya atau akan mencontohnya, maka ini adalah
maslahat yang dibenarkan oleh syari'at.
Namun
jika ada seseorang berkata kepada orang lain: "Hari ini aku menyelesaikan
bacaan Al-Qur'an pada halaman ini", dia mengabarkan bahwa dia telah
membacanya, dan ini secara konsisten dia lakukan sebagaimana dia konsisten
dalam hal ini.
Maka
kedua hal ini (yaitu beribadah dengan menentukan kadar tertentu yang tidak
ditentukan oleh syari'at dan secara konsisten mengabarkan ibadah yang telah dia
lakukan –pen) adalah merupakan dua hal yang terlarang, dua hal tersebut telah
menguatkan untuk meninggalkan amal seperti ini, dengan mencukupkan diri pada
apa yang disebutkan padanya kebaikan & keberkahan.
Wallahu
ta'ala a'lam.
(Syaikh
Muhammad bin Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syinqithy hafizhahullahu ta'ala)
*******
KESIMPULAN
:
1. Memotivasi
diri sendiri & orang lain untuk melakukan amal shalih adalah perbuatan
terpuji & mendapatkan pahala dari Allah, selama cara memotivasi
tersebut sesuai dengan syari'at.
2. Seorang
muslim boleh mengamalkan atau memerintahkan orang lain untuk beramal dengan amal
yang dikaitkan dengan kadar, bilangan, tatacara, waktu, atau tempat tertentu
yang memang sudah ditetapkan oleh syari'at.
3. Menetapkan
suatu amal ibadah dengan menentukan kadar, bilangan, tatacara, waktu, atau
tempat tertentu yang tidak ditetapkan oleh syari'at, maka ini termasuk
bid'ah yang terlarang.
4. Menyembunyikan
amal ibadah adalah lebih baik daripada menampakkannya kepada
orang lain.
5. Boleh
menampakkan amal ibadah dengan tujuan yang dibenarkan oleh syari'at, seperti
dengan tujuan mengajarkan atau memberi teladan agar orang lain
mengikutinya.
6. Menampakkan
amal ibadah secara terus menerus dengan menyebutkan kepada orang lain
tentang ibadah yang telah dia lakukan dengan konsisten, hal ini tidak
ada dasarnya dalam syari'at.
*******************************
~
* ~ كم من مريد الخير لا يصيبه ~*~
~
* ~ Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan, namun dia tidak mendapatkan
kebaikan tersebut ~*~
#
اللهم اجعلنا من أهل القرآن الذي هو أهلك وخاصتك
#
#
Ya Allah, jadikanlah kami Ahli Al-Qur'an, yang merupakan Ahli (keluarga)-Mu
& orang yang istimewa di sisi-Mu #
***********************************
Makkah
Al-Mukarramah, 19/03/1435 H
Tafrigh
Muhadharah & Tarjamah:
Arfah
Ummu Faynan
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !